DUPER (Dunia Perikanan)
Rabu, 10 Februari 2016
Undang-Undang Budidaya Perikanan
Dengan wilayah perairan dan garis pantai yang demikian luas dan
panjang, maka tidak mengherankan bila masyarakat Indonesia banyak yang
menggantungkan hidupnya di laut sebagai nelayan.
Tapi Potret sebagian besar nelayan kita adalah tergolong kaum marjinal, miskin pengetahuan teknologi penangkapan ikan dan lemah permodalan. Dengan keadaan tersebut sangatlah sulit jika harus bertarung mendapatkan ikan di tengah laut dengan kapal-kapal besaryang dilengkapi teknologi penangkapan dan penginderaan. Lebih lanjut dikatakan bahwa Potensi ekonomi perikanan yang jauh lebih besar sesungguhnya terdapat diperikanan budidaya (akuakultur).
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dalam Pasal 1 angka 6 disebutkan bahwa pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
Pasal 1 angka 7 disebutkan bahwa Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan perikanan budidaya memiliki peran penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Pengelolaan tersebut tidak bisa diserahkankan begitu saja pada masyarakat nelayan, tapi diperlukan dukungan pemerintah daerah seperti penetapan lokasi, penganggaran, perencanaan sampai pada tingkat pengaturan.
Tapi Potret sebagian besar nelayan kita adalah tergolong kaum marjinal, miskin pengetahuan teknologi penangkapan ikan dan lemah permodalan. Dengan keadaan tersebut sangatlah sulit jika harus bertarung mendapatkan ikan di tengah laut dengan kapal-kapal besaryang dilengkapi teknologi penangkapan dan penginderaan. Lebih lanjut dikatakan bahwa Potensi ekonomi perikanan yang jauh lebih besar sesungguhnya terdapat diperikanan budidaya (akuakultur).
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dalam Pasal 1 angka 6 disebutkan bahwa pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
Pasal 1 angka 7 disebutkan bahwa Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan perikanan budidaya memiliki peran penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Pengelolaan tersebut tidak bisa diserahkankan begitu saja pada masyarakat nelayan, tapi diperlukan dukungan pemerintah daerah seperti penetapan lokasi, penganggaran, perencanaan sampai pada tingkat pengaturan.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. � Perikanan adalah semua
kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan;
2. � Sumber daya ikan adalah semua
jenis ikan termasuk biota perairan lainnya,
3. � Pengelolaan sumber daya ikan
adalah semua upaya yang bertujuan agar sumber daya ikan dapat dimanfaatkan
secara optimal dan berlangsung terus menerus;
4. � Pemanfaatan sumber daya ikan
adalah kegiatan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan;
5. � Usaha perikanan adalah semua
usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan ikan,
termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan
komersial;
6. � Penangkapan ikan adalah
kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam
keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang
menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah
atau mengawetkannya;
7. Alat penangkap ikan adalah sarana dan perlengkapan atau benda-benda
lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan;
8. � Kapal perikanan adalah kapal
atau perahu atau alat apung lainnya yang dipergunakan untuk melakukan
penangkapan ikan, termasuk untuk melakukan survai atau eksplorasi perikanan;
9. � Pembudidayaan ikan adalah
kegiatan untuk memelihara, membesarkan dan/atau membiakkan ikan dan memanen
hasilnya;
10. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan
ikan;
11. Petani ikan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
pembudidayaan ikan;
12. Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan tempat kehidupan sumber
daya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya;
13. Pencemaran sumber daya ikan adalah tercampurnya sumber daya ikan
dengan makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain akibat perbuatan
manusia sehingga sumber daya ikan menjadi kurang atau tidak berfungsi
sebagaimana seharusnya dan/atau berbahaya bagi yang memanfaatkannya;
14. Kerusakan sumber daya ikan adalah terjadinya penurunan potensi
sumber daya ikan yang dapat membahayakan kelestariannya di suatu lokasi
perairan tertentu yang diakibatkan oleh perbuatan seseorang atau badan hukum
yang telah menimbulkan gangguan sedemikian rupa terhadap keseimbangan biologi
atau daur hidup sumber daya ikan;
15. Pencemaran lingkungan sumber daya ikan adalah masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan sumber daya ikan sehingga kualitas lingkungan sumber daya ikan turun
sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan sumber daya ikan menjadi
kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya;
16. Kerusakan lingkungan sumber daya ikan adalah suatu keadaan
lingkungan sumber daya ikan di suatu lokasi perairan tertentu yang telah
mengalami perubahan fisik, kimiawi dan hayati, sehingga tidak atau kurang
berfungsi sebagai tempat hidup, mencari makan, berkembang biak atau berlindung
sumber daya ikan, karena telah mengalami gangguan sedemikian rupa sebagai
akibat perbuatan seseorang atau badan hukum; 17. Pemerintah adalah Pemerintah
Republik Indonesia;
18. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang perikanan.
BAB II
WILAYAH PERIKANAN
WILAYAH PERIKANAN
Pasal 2
Wilayah perikanan
Republik Indonesia meliputi:
a. � Perairan Indonesia;
b. � Sungai, danau, waduk, rawa,
dan genangan air lainnya di dalam wilayah Republik Indonesia;
c. � Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
BAB III
PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN
Pasal 3
PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN
Pasal 3
(1) Pengelolaan sumber daya ikan dalam wilayah
perikanan Republik Indonesia ditujukan kepada tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi
bangsa Indonesia.
(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Pemerintah melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan secara terpadu dan
terarah dengan melestarikan sumber daya ikan beserta lingkungannya bagi kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat Indonesia.
Pasal 4
Dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan,
Menteri menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai:
1. alat-alat penangkapan ikan;
2. syarat-syarat teknis perikanan yang harus dipenuhi
oleh kapal perikanan dengan tidak mengurangi ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku mengenai keselamatan pelayaran;
3. jumlah yang boleh ditangkap dan jenis serta ukuran
ikan yang tidak boleh ditangkap;
4. daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan; 5 .
pencegahan pencemaran dan kerusakan, rehabilitasi dan peningkatan sumber daya
ikan serta lingkungannya;
6. penebaran ikan jenis baru;
7. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
8. pencegahan dan pemberantasan
hama serta penyakit ikan;
9. hal-hal lain yang dipandang perlu untuk mencapai
tujuan pengelolaan sumber daya ikan.
Pasal 5
Pengangkutan ikan hidup antar pulau di dalam wilayah Republik Indonesia atau antara wilayah Indonesia dengan negara asing dikenakan ketentuan-ketentuan
karantina ikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 6
(1) Setiap orang atau badan hukum dilarang melakukan
kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan dan/atau
alat yang dapat membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan
lingkungannya.
(2) Kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan dengan
menggunakan bahan dan/atau alat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk
kepentingan ilmiah dan kepentingan tertentu lainnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 7
(1) Setiap orang atau badan hukum dilarang melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak berlaku sepanjang mengenai perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan kegiatan
penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
(1) Untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan
atau pelestarian alam perairan, Pemerintah menetapkan jenis ikan tertentu yang
dilindungi dan/atau lokasi perairan tertentu sebagai suaka perikanan berdasarkan ciri yang
khas jenis ikan atau keadaan alam perairan termaksud.
(2) Dalam pengaturan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) Pemerintah dapat menetapkan pembatasan terhadap kegiatan penangkapan
atau pembudidayaan ikan atau kegiatan lainnya di lokasi tersebut.
BAB IV
PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN
Pasal 9
(1) Usaha perikanan di wilayah perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia.
(2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diberikan di bidang penangkapan ikan, sepanjang hal
tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan ketentuan persetujuan internasional atau
hukum internasional yang berlaku.
Pasal 10
(1) Setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha
perikanan diwajibkan memiliki izin usaha perikanan.
(2) Nelayan dan petani ikan kecil atau perorangan
lainnya yang sifat usahanya merupakan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari tidak dikenakan kewajiban memiliki izin usaha perikanan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha
perikanan di bidang penangkapan atau pembudidayaan ikan di laut atau di perairan
lainnya di wilayah perikanan Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan.
(2) Nelayan dan petani ikan kecil yang melakukan
penangkapan atau pembudidayaan ikan yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
tidak dikenakan pungutan perikanan.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
(1) Kapal perikanan yang digunakan oleh warganegara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan di dalam wilayah
perikanan Republik Indonesia harus berbendera Indonesia.
(2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat dilakukan� untuk kegiatan
penelitian serta kegiatan ilmiah lainnya di wilayah perikanan Republik Indonesia dan kegiatan penangkapan ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia.
Pasal 13
Kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan di dalam
wilayah perikanan Republik Indonesia yang tidak untuk tujuan komersial diatur oleh Menteri.
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN
Pasal 14
Pemerintah menyelenggarakan
pembinaan sistem informasi dan menyelenggarakan pengumpulan, pengolahan, dan
penyebaran seluas-luasnya mengenai data teknik dan data produksi perikanan guna
menunjang pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan serta pengembangan usaha perikanan.
Pasal 15
(1) Pemerintah membina dan mengembangkan penelitian dan kegiatan
lainnya di bidang perikanan.
(2) Dalam menyelenggarakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), Pemerintah dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga swasta nasional, lembaga
internasional atau lembaga asing.
Pasal 16
(1) Pemerintah menyelenggarakan pendidikan, latihan,
penyuluhan dan bimbingan di bidang perikanan.
(2) Dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) Pemerintah dapat mengikutsertakan masyarakat dan lembaga-lembaga
kemasyarakatan.
Pasal 17
Pemerintah mendorong, menggerakkan, membantu dan
melindungi usaha nelayan dan petani ikan kecil terutama melalui koperasi nelayan dan/atau
koperasi petani ikan.
Pasal 18
(1) Pemerintah membangun dan membina prasarana
perikanan.
(2) Ketentuan pelaksanaan mengenai pengadaan,
kedudukan, fungsi, pengelolaan dan penggunaan prasarana perikanan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Pemerintah mengatur tata niaga ikan dan melaksanakan
pembinaan mutu hasil perikanan.
Pasal 20
Menteri menetapkan larangan pengeluaran atau pemasukan
jenis ikan tertentu dari atau ke wilayah Republik Indonesia.
BAB VI
PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 21
Penyerahan sebagian urusan perikanan dari Pemerintah
Pusat kepada Pemerintah Daerah dan penarikannya kembali ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 22
Pemerintah Pusat dapat menugaskan kepada Pemerintah
Daerah untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan di bidang perikanan.
BAB VII
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 23
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 23
(1) Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya ikan secara berdaya guna dan berhasil guna, dilakukan pengawasan
dan pengendalian terhadap pelaksanaan ketentuan-ketentuan di bidang perikanan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 24
KETENTUAN PIDANA
Pasal 24
Barangsiapa di dalam wilayah perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda sebanyak- banyaknya Rp 100.000.000,- (seratus
juta rupiah).
Pasal 25
Barangsiapa di dalam wilayah perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b melakukan usaha perikanan di
bidang penangkapan ikan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10:
a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda sebanyakbanyaknya Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), apabila dalam kegiatannya menggunakan kapal bermotor berukuran 30 (tiga puluh)
gros ton atau lebih;
b. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2
(dua) tahun 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 25.000.000,- (dua puluh
lima juta rupiah), apabila dalam kegiatannya menggunakan kapal bermotor berukuran
kurang dari 30 (tiga puluh) gros ton.
Pasal 26
Barangsiapa di dalam
wilayah perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a
dan huruf b melakukan usaha perikanan di bidang pembudidayaan ikan tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana kurungan
selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000,-
(lima juta rupiah).
Pasal 27
(1) Barangsiapa melanggar ketentuan yang ditetapkan
berdasarkan Pasal 4 dipidana dengan pidana denda sebanyak-banyaknya Rp 25.000.000,- (dua
puluh lima juta rupiah).
(2) Barangsiapa melanggar ketentuan yang ditetapkan
berdasarkan Pasal 20 dipidana dengan pidana denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Pasal 28
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
dan Pasal 25 adalah kejahatan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
dan Pasal 27 adalah pelanggaran.
Pasal 29
Benda-benda yang
dipergunakan dalam dan yang dihasilkan dari tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 dapat dirampas untuk
negara.
Pasal 30
Barangsiapa melanggar
ketentuan-ketentuan Undang-undang ini di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
dipidana sesuai dengan ketentuan pidana dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983
tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
BAB IX
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Pasal 31
(1) Pejabat aparatur penegak hukum yang berwenang melaksanakan
penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan Undang-undang ini di perairan
Indonesia adalah pejabat penyidik sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 14 ayat
(1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
(2) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang bertugas di bidang
perikanan dapat diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap
pelanggaran ketentuan Undangundang ini.
(3) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil tertentu di bidang perikanan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) karena kewajibannya mempunyai kewenangan :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
pelanggaran ketentuan Undang-undang ini;
b. melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap tersangka pelaku
pelanggaran ketentuan Undang-undang ini;
c. menggeledah kapal perikanan, sarana angkutan dan tempat menyimpan,
mendinginkan dan mengawetkan ikan yang diduga dipergunakan dalam atau menjadi
tempat melakukan pelanggaran ketentuan Undang-undang ini.
d. melakukan penyitaan ikan yang dihasilkan, alat-alat dan surat-surat
yang digunakan dalam melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan Undangundang
ini.
(4) Penyidikan dan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini
dilaksanakan dengan� memperhatikan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
dan ketentuan hukum acara pidana lainnya.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
Semua peraturan pelaksanaan
dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang telah ada sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, tetap berlaku sampai
dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:
a. � Algemeene regelen voor het
visschen naar Parelschelpen, Parelmoerschelpen, Teripang en Sponsen binnen de
afstand van niet meer dan drie Engelsche zeemijlen van de kusten van
Nederlandsch Indie (Staatsblad Tahun 1916 Nomor 157);
b. � Visscherij Bepalingen ter
Bescherming van den Vischsstand (Staatsblad Tahun 1920 Nomor 396);
c. � Algemeene Regeling voor de
Visscherij binnen het zeegebied van Nederlandsch Indie (Staatsblad Tahun 1927
Nomor 144);
d. � Algemeene regelen voor de
jacht op walvisschen binnen den afstand van drie zeemijlen van de kusten van
Nederlandsch Indie (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 145);
e. Ketentuan mengenai perikanan dalam Territoriale Zee en Maritieme
Kringen Ordonnantie (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 442), kecuali
ketentuan-ketentuan yang menyangkut acara pelaksanaan penegakan hukum di laut;
dengan segala perubahannya, dinyatakan tidak berlaku
lagi.
Pasal 34
Hal-hal yang belum cukup
diatur dalam Undang-undang ini akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 35
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Definisi Perikanan
Perikanan adalah kegiatan manusia yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hayati perairan. Sumberdaya
hayati perairan tidak dibatasi secara tegas dan pada umumnya mencakup ikan, amfibi, dan berbagai avertebrata
penghuni perairan dan wilayah yang berdekatan, serta lingkungannya.
Di Indonesia, menurut UU RI no. 9/1985 dan UU RI no. 31/2004, kegiatan yang termasuk dalam perikanan dimulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Dengan demikian, perikanan dapat dianggap merupakan usaha agribisnis.
Umumnya, perikanan dimaksudkan untuk kepentingan penyediaan pangan bagi manusia. Selain itu, tujuan lain dari perikanan meliputi olahraga, rekreasi (pemancingan ikan), dan mungkin juga untuk tujuan membuat perhiasan atau mengambil minyak ikan.
Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan (usaha penetasan, pembibitan, pembesaran) ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan, pengeringan, atau mengawetkan ikan dengan tujuan untuk menciptakan nilai tambah ekonomi bagi pelaku usaha (komersial/bisnis).
Salah satu sejarah perdagangan dunia yang tertua yaitu perdagangan ikan cod kering dari daerah Lofoten ke bagian selatan Eropa, Italia, Spanyol dan Portugal. Perdagangan ikan ini dimulai pada periode Viking
atau sebelumnya, yang telah berlangsung lebih dari 1000 tahun, namun
masih merupakan jenis perdagangan yang penting hingga sekarang.
Di India, Pandyas, kerajaan Tamil Dravidian tertua, dikenal dengan tempat perikanan mutiara diambil sejak satu abad sebelum masehi. Pelabuhan Tuticorin dikenal dengan perikanan mutiara laut dalam. Paravas, bangsa Tamil yang berpusat di Tuticorin, berkembang menjadi masyarakat yang makmur oleh karena perdagangan mutiara mereka, pengetahuan ilmu pelayaran dan perikanan.
Menurut Lacket perikanan dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa sifat antara lain :
Di Indonesia, menurut UU RI no. 9/1985 dan UU RI no. 31/2004, kegiatan yang termasuk dalam perikanan dimulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Dengan demikian, perikanan dapat dianggap merupakan usaha agribisnis.
Umumnya, perikanan dimaksudkan untuk kepentingan penyediaan pangan bagi manusia. Selain itu, tujuan lain dari perikanan meliputi olahraga, rekreasi (pemancingan ikan), dan mungkin juga untuk tujuan membuat perhiasan atau mengambil minyak ikan.
Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan (usaha penetasan, pembibitan, pembesaran) ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan, pengeringan, atau mengawetkan ikan dengan tujuan untuk menciptakan nilai tambah ekonomi bagi pelaku usaha (komersial/bisnis).
Sejarah perikanan
Mesir membawa ikan, dan dibelah untuk tujuan diasinkan
Di India, Pandyas, kerajaan Tamil Dravidian tertua, dikenal dengan tempat perikanan mutiara diambil sejak satu abad sebelum masehi. Pelabuhan Tuticorin dikenal dengan perikanan mutiara laut dalam. Paravas, bangsa Tamil yang berpusat di Tuticorin, berkembang menjadi masyarakat yang makmur oleh karena perdagangan mutiara mereka, pengetahuan ilmu pelayaran dan perikanan.
Menurut Lacket perikanan dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa sifat antara lain :
(1) Perikanan berdasarkan jenis lingkungan. Contohnya : perikanan air tawar, laut, danau, sungai dan bendungan.
(2) Perikanan berdasarkan metode pemanenan. Contohnya : perikanan trawl, dipnet, purse seine dan lain sebagainya.
(3) Perikanan berdasarkan jenis akses yang diizinkan. Contohnya :
perikanan akses terbuka, perikanan akses terbuka dengan regulasi dan
perikanan dengan akses terbatas.
(4) Perikanan berdasarkan concern organisme. Cotohnya : perikanan salmon, udang, kepiting, tuna.
(5) Perikanan berdasarkan tujuan penangkapan. Contohnya : perikanan komersial, subsisten, perikanan rekreasi.
(6) Perikanan berdasarkan derajat kealaman dari hewan target : total dari alam, semi budi daya atau total budi daya.
Langganan:
Postingan (Atom)